Berhubung ini masih bulan Mei dimana 2 Mei
kemarin bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, saya ingin berbagi
pengalaman saat mengajar. Pengalaman yang sedari dulu ingin saya tuang, tapi
takut-takut. Dulu, saat awal-awal punya blog, saya masih takut-takut bila ada
yang membaca. Blog bagi saya adalah semacam diary, hanya boleh saya yang baca.
Lucu ya, karena blog saya tidak pernah saya proteksi, jadi pasti bisa dibaca.
Saya mengajar di sebuah SMA, tempat yang tidak
pernah terpikirkan sebelumnya. Karena niat saya mendaftar di SMP-nya (yang masih satu yayasan dengan SMA). Saya sengaja mendaftar di sekolah swasta, tidak menuju
negeri karena pikiran saya saat itu saya bukanlah sarjana pendidikan. Lagipula
saya senang menikmati bekerja dari bawah. Ya, di Balikpapan sendiri, sekolah yang
terkenal baik adalah sekolah negeri. Sementara SMP tempat saya memberanikan
diri untuk mengajar bukanlah nomor satu. Tapi cukup dikenal, pun punya
prestasi, dengan siswa yang mudah dibina.
Itu sudah cukup bagi saya memulai segalanya.
Impian ini bergeser. SMA saat itu
membutuhkan guru, dan pas sekali guru yang keluar ini sebidang dengan materi
ajar saya. Beginilah kalau jodoh. Tapi, yang terbesit saat itu, oh ada SMA toh disini.
Ya, SMA yang nyaris tidak terdengar, SMA yang
seringkali terdengar bila itu berbau negatif.
Dan saya tipe yang tidak tahu semuanya tentang
SMA ini.
Saya seperti orang yang polos, masuk ya masuk
aja, hehe (ini kalau yang baca mantan murid gimana ya)
Saat itu, sekolah ini hanya terdiri dari 3
kelas, kelas X (sepuluh), kelas XI (sebelas) IPS dan XII (dua belas) IPS. Sudah
itu saja.
Saya masih ingat diskusi dengan Kepseknya saat
itu: tapi sekolah kami begini loh Bu,
kami cuma bisa bayar segini loh Bu.
Dan dengan gagahnya saya cuma bilang, nggak pa-pa.
Padahal saya nggak
ngerti-ngerti amat sekolahnya seperti apa. Yang ditakuti itu apa saya juga
nggak ngerti.
Dan hari pertama dimulai. Saya masuk ke kelas
XII IPS untuk pertama kalinya. Memang rata-rata kelas lebih banyak cowoknya.
Saya mencium bau aneh di kelas ini, saat itu saya belum tau aroma apa di kelas
ini, saya pikir hanya bau keringat anak-anak cowok sehabis bermain(olahraga) di
luar. Ternyata… ya nanti saya sebutkan bau apa itu.
Saya rasa, saya memulainya dengan teramat baik.
Anak-anak duduk diam mendengar, kami berkenalan seadanya dan ketika jatah
berkenalan sudah habis, saya mulai memasuki materi. Itu pun hanya untuk
mengajak mereka mengenal materi yang akan seterusnya saya sampaikan.
Suasana benar-benar sangattt tenang, saya
merasa: wah, enak kalau ngajarnya begini terus. Saya ngomong panjang lebar
mungkin juga kali tinggi. Sepuasnya-puasnya, seenak-enaknya karena mereka
nyimak. Hingga selesai penyampaian, saya
pun mengajukan pertanyaan: “sampai sini ada yang ingin bertanya? Tentang materi
kita?”
Dan saya tidak menyangka tiga tangan teracung
dengan cepat. Tinggi banget. Sebagai guru (baru) saya bangga, bahagia. Ternyata
anak-anak ini menyimak. Saya terharu. Saya tunjuk satu di antaranya. Dan yang
dia tanyakan adalah:
“Situ tinggalnya dimana?”
Sejenak, kaki saya rasanya ngawang-ngawang.
Situ? Tinggal? Mana pertanyaan yang sesuai materi yang saya harapkan. Mana?
Saya sih tidak bad mood, tapi saya
jawab saja:
“Di rumah!” sambil teriak.
Iya, saya masih tinggal di rumah kok.
Saya
masih diam di tempat, butuh pembelaan sebenarnya (kan tadi ibu udah kenalan
masa’ kamu nggak dengar) tapi satu kelas kompak semua. Sampai satu teman mereka
ngoceh lagi, “ya bu, syukur-syukur kita nanya, bisa sekolah aja syukur-syukur,
mau masuk kelas aja syukur bu.”
“Ya syukuuur buuu,” kata temannya lagi.
Walaupun nadanya melas saya langsung ketawa, ih
pelajar gitu lho, masih muda pasrah amat nadanya.
Akhirnya saya membalikkan tubuh, menuliskan
alamat + no.hp. Dari sinilah saya menyadari benar-benar kelas apa yang saya
masuki, siapa yang saya ajar. Langkah-langkah apa saja selanjutnya. Saya mulai
berpikir keras justru di hari itu, di mana saya menghadap ke papan tulis. Bukan
hari di mana saya berhadapan dengan Kepsek atau pemilik Yayasan.
Saya tahu saat
saya membalikkan tubuh, suara-suara di belakang bergema:
bagus juga tulisannya ya. Masih kuliah kah dia? Kayak masih kuliah. Guru baru? ooh cuma guru baru.
Dan saya tahu, tangan-tangan yang tadinya terangkat, mulai beralih ke sandaran
kursi. Kaki-kaki yang tadinya masih diam di bawah, mulai menjelajah laci dan
atas meja. Lipstik-lipstik yang tersimpan di dalam tas memunculkan diri, tidak
tahan untuk tidak menyentuh bibir. Sedang rokok yang terselip entah di bagian
mana mulai di oper ke kawan lain, ketika kode beraksi.
Aroma kecut ruangan tadi bukanlah sepercik
bau keringat. Aroma itu campuran rokok
dan alkohol.
Ini hari pertama.
Saya sempat khawatir menceritakan ini. Syukurlah, saya lebih banyak
membaca dan ternyata banyak kisah-kisah serupa yang saya alami juga disalurkan
oleh guru lain di penjuru negeri.
Anak-anak yang saya ceritakan dalam kisah ini
nyata adanya. Saya berharap tidak ada yang punya pikiran negatif seutuhnya
terhadap mereka. Mereka punya sisi-sisi baik. Apalagi cerita ini sudah lama
sekali. Sekarang sudah ada yang kuliah, bekerja, menikah, punya anak. Dan
bertobat, hehehe.
Di hari pertama itu pula, saat saya keluar kelas
menuju kantor, ternyata banyak guru yang menanti saya. Menduga-duga reaksi
saya. Sementara saya hanya bilang, enak
aja kok anak-anaknya. Oh, rupanya pernah ada kejadian guru negeri mengajar
di sekolah ini dan sayang sekali kelas yang dia masuki kelas yang.. ehmm…
bolehkah saya bilang bandel? Alhasil guru tersebut keluar sambil menangis dan
kapok masuk kelas.
Saya tidak ingin di posisi itu. Tapi, saya juga
tahu saya pasti gagal. Saya pasti kecut juga menghadapi mereka. Kalau materi
saya saja mereka tidak suka, saya mesti kasih apalagi untuk mereka?
Tapi kalau dibilang menyesal, sama sekali tidak. Malah kalau diingat-ingat saya menikmati tahun-tahun pertama ini dibanding tahun-tahun terakhir mengajar. Meski nyaris ditabrak motor oleh murid, meski kepala saya pernah kena tendangan bola, meski setiap hari disumpahi nama hewan, hehe. Biarlah tak apa.
Lalu bagaimana dengan kelas lain? Murid-murid
lain? Bagaimana guru-guru lain bercerita tentang mereka?
Untuk sementara saya cuma bisa bilang: BERSAMBUNG.
mbak lidha ini seru banget, aku salut dan menunggu tulisan berikutnya... hemm yaampun susah ya jadi guru.
BalasHapusoh ya mbak saya baca komentarnya mbak lidha dan memutuskan untuk balas disini saja. saya masih anak kemarin sore dibanding mbak lidha jauh banget pengalaman hidup saya. intinya ya saya setuju, iya kita perempuan memang banyak salahnya selalu butuh pegangan, pegangan untuk pengendalian diri sering berupa lingkungan pertemanan. pengin nyinyir sangat manusiawi kok, gakpapa diteruskan saja mungkin tujuan nyinyir yang diubah, nyinyirin diri sendiri misalnya hehe :D kalau masih nggak bisa ya tidur aja mungkin - ini kalau saya. saya masih miskin ilmu dan banyak salah. mohon ditegur kalau salah.
saya baru ngeh kalau postingan itu memancing curhatan2 :)
Salken Mbak Lidha.. ,:-)
BalasHapusCeritanya seru,ditunggu sambungannya ya..
Salken Mbak Lidha.. ,:-)
BalasHapusCeritanya seru,ditunggu sambungannya ya..
Horor banget ya Mak sepertinya pengalamannya.. Duh aseandainya aku jadi guru, ku juga gak akan sanggup tuh kalo disuruh ngajar anak-anak SMA semacam itu.. Ditunggu banget ya Mak kelanjutan ceritanyaaaaaa. Aku penasaraaaaan. Ehehehee
BalasHapusKalau sudah lewat begini momen-momen di awal mengajar jadi ngangenin ya Mba', apalagi momen yang nggak biasa kayak Mba' Maul.. :)
BalasHapusSaya dulu juga pernah ngajar Mba', ngajar les waktu kuliah & ekskul waktu awal nikah. Jadi guru emang harus punya stok sabar tak terhingga ya Mba', ditunggu kelanjutannya.. :D
ikut deg-degan bacanya
BalasHapusditunggu cerita selanjutnya ya mbak
Seruuu..btw, mbak masih ngajar disana kah sekarang?
BalasHapussudah nggak lagi, kondisinya juga sudah lebih baik :)
HapusSalut dengan perjuangan mengajar mba Lidha. Saya sering melihat anak2 sekolah, masih jam pelajaran yang suka nongrong di warung depan rumah bapak. Jengkel bgt lihatnya. Pas jam pelajaran. Meraka malah kabur. Asyik nongrong dengan asap rokok mengebul. Mungkin juga sambil minum2, ngepil, dsb. Cewek cowok berbaur.
BalasHapuskadang saya mikir, bagaimana dgn guru2nya? Apa tidak ada yang negur atau memberi sanksi.
Semacam itukah murid2nya mba Lidha?
Saya akui ya mbak.
HapusKemana ya gurunya?pasti beda-beda situasi gurunya. Versi saya? nanti saya cerita, hehe.
Ditegur? sanksi? sudah banget.
Mbaaak... itu di kota B? Ngeri2 gitu saya bacanya. Tapi ada proses ya, Mbak. Seru ceritanya mbak. Ditunggu lagi lanjutannya.
BalasHapussaya juga pernah waktu itu masih punya anak 1, tapi saya belum bisa menceritakannya, saya masih menyalahkan diri sendiri atas kekuarangan saya :(
BalasHapusnah..nah, kayaknya kita sama deh mbak. Mungkin saya duluan yang cerita. Soal kekurangan? wah saya banyak banget mbak dan selalu menyalahkan.
Hapuswah bersambung kayaknya, ditunggu kelanjutannya hehe :))
BalasHapusnggak sabar menantikan kelanjutan ceritanya..
BalasHapussepertinya saya nggak kuat jadi guru Mba Lidha, saya nggak bisa membayangkan bila berada di posisi Mba Lidha saat itu :(
surpraise juga ih mb lidh nemu anak pelajar yang agak agak horrible gini attitudenya
BalasHapusmasa manggilnya pae sapaaan situ
???
wahhhh *jujur kutercengang
kebayang deh mba..ceritamu ini...
BalasHapusduluuuuu zaman sma sebagian temen2 lelakiku ya kayak gt. suka dalam kondisi setengah sadar di kelas. dan krn aku bukan bagian dr mereka aku tuh sering diisengin sm mereka, tiba2 aku menemukan buku2 stensil di dalam tas atau laci mejaku.
aku juga sering mendapati mrk bawa benda2 tajam..
biasanya buat tawuran sm sma lain.
alhamdulillah bisa selamat dan survive dr sana.
mereka mungkin bukan jahat hanya nakal
wah, ada yang bisa menyelami perasaan saya rupanya. Meski dari sisi yang berbeda. Makasih ya Mak :)
HapusKalau soal tawuran, mestinya saya bersyukur hal itu bukan habit mereka
aku menantikan kelanjutan kisah ini, merinding sendiri bayanginnya. aduh kalo saya disana mgkin ga bakalan lama. saya suka ngajar sih mba tp bukan ngajar anak gede, saya demen ngajar anak tk aja. haha
BalasHapusIni juga mirip2 anak TK kok Monic :D
HapusWAHH aku pas baca.... agak sedikit kaget sih, cuma karena tahu sekarang jaman udah luar biasa banyak perubahan, karena aku juga pernah ngajar di skolah tingkat SMP...
BalasHapusdan anak-anaknya badung banget... walaupunga sebadung cerita mbak, tapi cara mereka "bisik bisik tetangga" saat kita membalik badan dikelas, padahal kita masih disitu... kerasa banget huhuhuhu..
tapi hebaaaat mbak kuat!!!
salam kenal ya, mbak!
Lid, aku speechless bacanya. Ternyata kamu pernah jadi guru to. Ini mirip temen2 SMAku. Kalo istirahat pada ngebir, ngrokok, ngganja. Padahal di kota kecil, ndeso :(. Malah pernah temenku bilang gini "Tun, nanti malem aku mau tawuran. Kalau besok aku nggak masuk, berarti aku udah mati". Huufftt...sampe sekarang dia masih jadi peminum dan pecandu. Tapi kami juga masih temenan. Entahlah, aku padahal nggak putus2 doain dia. Tapi hidayah emang bener2 rahasia ALLAH.
BalasHapusBtw ditunggu kelanjutannya yaa...
Jadi SITU rumah nya dimana ??? Situ jomblo kah ??? hua hua
BalasHapus#eaaa syukur maztoro bukan murid saya,hahaha
HapusHuhuhu ceritanya seru, dulu saya juga ngalami hal yang mirip2 Mak.
BalasHapusbedanya di sekolah itu saya juga menjadi siswa (jadi anak buangan selama 1 tahun karna sistem rayon). saya sekolah di belakang Terminal & pasar besar, teman2 isinya kebanyakan preman2 pasar dan terminal. yang kalau ngajak bicara perempuan, sambil ngepul asap rokok, ngangkang & cenderung intimidasi.
awal2 serem banget sekolah disana, lama2 begitu mengenal mereka lebih jauh ternyata ada sisi baiknya juga. dan sampai sekarang masih berteman baik :)
dulu aku juga pernah mengalami kondisi serupa'takjub sekaligus pasrah menemukan kenyataan yang jauh diluar dugaan :)
BalasHapusTunggukisah2 selanjutnya aaah
BalasHapusMenarik :)