Bagaimana rasanya hidup tanpa gadget? Tanpa elektrik? Tanpa dunia maya? Tanpa TV? Akankah serasa ke masa lampau ? Bila demikian, cobalah datang ke Kampung Naga Tasikmalaya, tempat di mana masyarakatnya berkehidupan tanpa listrik.
Berada di di daerah perbatasan Tasikmalaya – Garut, singgah di Kampung Naga adalah kejadian yang tidak direncanakan. Saya dan suami pernah mengunjungi Tasikmalaya. Ketika itu kami berkendara menuju Garut dengan dua orang kawan suami; Pak Mugni – Pak Upik. Dua lelaki yang biasanya dipanggil ‘Kang’ namun saya terlampau kikuk menggunakan kata ini.
Perjalanan Tasik - Garut disambut sawah membentang dan guyuran hujan |
Sekitar 1 jam perjalanan dari Tasik, Pak Upik menawarkan mampir di Kampung Naga. Awalnya kami disambut sebuah tugu, yang diklaim sebagai monument pusaka terbesar di dunia yaitu berupa senjata kujang pusaka.
Setelah menyelesaikan shalat di mushala yang berada di atas Kampung Naga, saya melihat cireng. Saya pikir inilah kampungnya tempat kami bersantai.
Rupanya memang tidak ada penunjuk atau plang hingga saya terbuai dengan pikiran sendiri. Terbuai dengan aroma cireng tepatnya.
Selain informasi dari Pak Upik, satu-satunya penunjuk memang cireng ini. Maaf, maksud saya penjual cirengnya. Dari dia saya tahu Kampung Naga terletak di bawah sanasetelah menuruni anak tangga yang sekitar 500. Dalam beberapa artikel resmi menyebutkan ada 439-440. Namun, saya tidak terlalu ingin memastikan jumlah pastinya. Nanti saya akan beritahu mengapa. Dan penjual cireng juga menyebutkan jaraknya hanya sekitar 500 meter. Tidak jauh bukan?
Tapi, itu membuat saya berpikir: bisa turun, apa nanti bisa naik?
Pesona Alam yang Membius
Dan inilah mengapa saya tidak berminat menghitung jumlah anak tangga. Karena terlalu terpukau dengan pemandangan yang membentang di bawah sana.
Masih berdiri di anak tangga, saya dapat melihat hamparan sawah hijau nan memukau, di sisi lain terdapat aliran sungai mengalir deras. Bening. Segar. Bersahabat. Hanya untuk berdiri di anak tangga saja, saya terlampau puas.
Kampung Naga memang tidak ada naganya. diNA Gawir katanya. Yaitu, yang berada di lembah yang subur. Sedari awal saya memandang, memang benar subur.
Katanya kampung ini pernah ditutup untuk umum. Entahlah. Karena itu saya tidak menemukan plang di sana. Lokasinya pun tidak seramai tempat wisata lain. Rupanya Kampung Naga seringkali menjadi kajian antropologi kehidupan masyarakat pedesaan. Bagaimana tidak segalanya di sini masih asri. Bahkan ada hutan –yang mengelilingi kampung- dikeramatkan oleh warganya. Konon, dari sejarahnya ada makam yang dijaga khusus di dalam hutan tersebut.
Kehidupan Alami
Ketika tepat di pinggiran sungai, saya putuskan turun sejenak. Saya suka keheningan yang dibangun di atas sungai dan hanya suara alam yang berbisik. Air disini mengalir deras. Kalau begini, terbayang sudah kehidupan seperti apa yang diajalani warga Kampung Naga.
keindahan sungai di Kampung Naga |
Bercocok tanam, beternak, memelihara ikan dan segalanya tradisional menjadi ciri khas kampung ini. Meski tidak ada listrik disini, saya melihat masih ada benda-benda elektronik dimana mereka menggunakan aki. Mungkin alat-alat itu terbatas dan harus berizin. Bagi siapa pun yang ingin ke Kampung Naga, hendaknya isi full dulu perangkat elektroniknya.
Karena banyak benda-benda modern yang tidak boleh digunakan di sini, maka untuk mengolah padi mereka menggunakan lesung. Saya tidak tahu apa bahasa setempatnya. Saat ingin mengambil foto ini saya meminta izin pada dua orang ibu di atas. Seorang ibu kemudian menyampaikan sepatah kata dalam bahasa Sunda. Saya tanyakan apa yang dimaksud dan hanya dibalas senyuman. Saya jadi bertanya-tanya: apa mereka yang tidak mengerti bahasa saya? atau mereka tahu bahwa saya tidak tahu bahasa mereka tapi percuma menyampaikan ulang karena hasilnya akan tetap sama saja? Jadi, lebih baik menebar senyum saja begitu?
kegiatan sehari-hari yang tradisional |
Selain bercocok tanam, beternak dan memelihara ikan. Masih ada kerajinan tangan sebagai penopang perekonomian masyarakat. Walaupun tentu bukan yang utama. Hal ini bisa dilihat dari adanya penjual souvenir di dekat masjid. Dan penjual ini adalah salah seorang yang mampu berbahasa Indonesia yang saya jumpai.
rumah yang selalu menghadap arah yang sama: kiblat |
Keyakinan dan Pemeliharaannya
Rumah yang dibangun selalu menghadap ke arah yang sama, yaitu kiblat. Ini semua karena penduduk Kampung Naga beragama Islam. Rumah selalu terbuat dari kayu atau bambu, sepertinya juga harus panggung (walau tidak tinggi), tidak pula bercat dan atapnya terbuat dari ijuk atau nipah. Pak Upik malah menyebutkan rumah di kampung ini hanya bertotal 40 buah saja tidak boleh lebih. Sayangnya, tidak ada satu pun dari kami yang menghitungnya.
Selain itu banyak pula yang disakralkan di kampung ini dan banyak sekali pantangan yang dipelihara warganya. Semua ini berkaitan dengan keteguhan menjalankan adat-istiadat yang sudah turun temurun dari para leluhur. Hal ini menurut saya unik sekali, karena letak Kampung Naga yang sebenarnya cukup strategis dari perkotaan tapi terpelihara dari arus modernisasi.
masjid |
Selanjutnya,
Sebenarnya sebelum bertandang ke Jawa Barat, kami terbang dari Balikpapan menuju Surabaya. Cukup jauh? Ya, karena kami berkeliling di beberapa tempat lebih dulu. Saat itu kami mendapat tiket pesawat murah. Jadi kami pikir mengapa ragu untuk berkeliling? Penerbangan dengan Garuda Indonesia pun kami dapat cukup murah. Selanjutnya untuk yang murah meriah ini bisa dipesan melalui Airpaz.com
Dengan ini bepergian menjadi mudah dan saya siap berpetualang kembali ke pelosok negeri Indonesia.
[Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #Airpaz #AkuCintaIndonesia]
Salam,
Tags
Traveling
Disana menginap mba?
BalasHapusTempatnya bagus banget, masih asri banget.
Penduduk nya pakai bahasa sunda?
Anak-anak disana sekolah gak mba?
Nggak nginap
HapusIya orang2 sana pake bahasa Sunda, tp katanya ada beda gitu.. saya kurang paham
Kok akohh jadi pingin cureng yak hihihi
BalasHapusWahhh ke jabar nda bilang bilang, deket niw
nanti kalau bilang, disamperin nggak sama mba gembul?? ^^
Hapus*aku kan nge pens*
Waaah... waaah... kok saya jadi kepengin banget ya ke Kampung Naga. Semoga suatu saat keturutan.
BalasHapusamiin. semoga keturutan pak ^^
HapusAlhamdulillah saya sudah nyobain datang ke sini.
BalasHapusWaktu itu masih kuliah, lagi semester 5, kalo gak salah. Dikarenakan kami bergelut di jurusan Sosial, Kampung Naga ini destinasi yang wajib dikunjungi, baik untuk membaur maupun untuk bahan penelitian. Bener-bener keren deh ini tempat, recommended lah buat yang pengen refreshing dan haus pengetahuan. Budaya-budayanya sangat kuat dan terjaga :)
anak sosiologi ya, harusnya Son yang jadi pemandu deh waktu itu.
HapusLha mau nggak ya dia
aduh itu terasering sawahnya indah sekali, asri , jadi mau ada di sana, selalu suka lihat terasering sawah danmelihat dari atas , itu indah sekali
BalasHapusSemoga bisa kesampaian ya mba. Kan udah sering kesampaian, semoga yang ini juga ^^
HapusItu sawahnya ijo banget :-O
BalasHapusduh jadi pengen pulang kampung..
pemandanganya sebelas dua belas sama itu soalnya. Hehehe
Lha emang lagi dimana Bang, enaknya pas kesana pas lagi ijo-ijonya
HapusYa Allah, daerah bagian mana di Jakarta yang masih ada ricefield begitu? :( Ngeliat yang ijo-ijo itu selalu bikin seger mata. Duh, mudah-mudahan kampung seindah itu masih ada sampai tahun-tahun berikutnya, nggak kayak jakarta yang penuh polusi... sejauh mata memandang liatnya cuma gedung-gedung bertingkah. Bah :-/
BalasHapusdaerah Bekasi apa ya, kayaknya masih ada mbak *eh ?*
Hapusyah walaupun gak seluas ini
Saya belum pernah eung ke Kampung Naga. Pernah lewat..daerah situ tp ngga mampir
BalasHapusMampir mba...jangan lupa pake high heels *eh*
Hapushahaha...
HapusMenginap mbak? Diperbolehkan? Kampung naga ini sering masuk TV, meski menjaga dari arus modernisasi tapi bagusnya mereka memperbolehkan media meliput kegiatan keseharian mereka, itu yang saya suka.
BalasHapusnggak nginap Ran. Iya, kita bisa kesana, tapi mereka tetap menjaga adat yang mereka punya. Orangnya juga ramah-ramah pula.
HapusAlhamdulilah karena saya asli Tasik makanya tidak asing lagi dengan kampung Naga, Ya walaupun cuma baru 2 kali kesana tapi saya sudah terkesan banget dengan kampung tersebut, pemandangan yang indah dan udara yang sejuk membuat betah berada disana :) Btw kalau ke tasik bilang-bilang dong mba siapa tahu bisa mampir dulu ke rumah saya :) hhe
BalasHapusSerius?! boleh mampir...
HapusKalau tau kan bisa mampir minta minum, capek banget naik tangganya meski udah berhenti beberapa kali.
*langsung curhat, eh minta minum lagi ya. emang kok*
whoaaa... indah bangeet. bisa merasakan bagaimana kesejukan dan keindahannya, apalagi di sungai, pengen deh maen air disitu :)
BalasHapuswuahhh enak banget mbak, seru asyikkk...yuk yuk yuk
HapusIndah y mba, saya kira baca judulnya mikirnya ini adalah kampung penghasil buah naga kebetulan suami dan anak pecinta buah naga hehehe ternyata buka :p
BalasHapusiya mbak, bukan penghasil buah naga, hehhe.
HapusEnak mbak disini, tp kita nggak bisa internetan, hehehe
Duh, itu pemandangan alamnya indah banget Mba Lidha, warna hijau-hijaunya itu segar banget dipandang mata :)
BalasHapusmasih cantik banget ya alamnya..aku cuma barus ekali ke tasik euy...itu karena nganterin sepupu nikah jd blom pernah halan2...
BalasHapussemoga terus letari ya kaerifan lokal kayak gini, identitas anak negri
Bila demikian telusurilah Kampung Naga, tempat dimana kita tidak akan menemukan Naga satu pun.
BalasHapusBahahahahah.
Deuh aku cengar cengir sendiri baca ceritanya ini, benar-benar menghanyutkan walaupun tidak sesedap cireng penanda Kampung Naga.
Pas banget Mak, lagi cari referensi jalan-jalan yg ndak terlalu jauh dari Jakarta, walaupun belum tau waktunya. Entah kapan, tapi nanti coba ta ingat-ingat apakah benar rumah disana hanya 40 bangunan ya :D
Hahaha, entar jadi nggak nikmat dong kalau dihitung-hitung. Tapi, mesti hati-hati ya mbak siapa tahu aja penjual cireng berubah menjadi penjual cilok
Hapuspesawat GI emang nagihin banget mbak lidha hihi
BalasHapusfotonya bagus banget as alwayss jadi pengen jalan kesitu kan kan
Ya itu repot ya, tiap kali ada foto bagus jadi pengen kesitu.
HapusHah, sama
Pemandangannya asyik. Adem dan damai kayaknya ya.
BalasHapusEmang nyenengin banget bis main2 di pedesaan gitu, karena di Jakarta saya nggak pernah lihat ya, hehehe...
BalasHapusAda ya mbak daerah seperti itu? Hampir kaya semacam badui gitu ya. Kalo ga ada listrik, trus mereka bener2 mengandalkan sinar matahari aja ya unt beraktivitas. Malam ya gulita gitu ya
BalasHapusPake obor mbak Ratu. Iya mengingatkan saya pada badui
Hapuswah...blm pernah ke kampung naga
BalasHapussemoga menyusul
HapusMbak, aku ngiri sama foto Mbak Lidha yang di sungai itu. Kayaknya damai bangettt...
BalasHapusBtw pemandangannya sungguh indah ya, ijo royo-royo :)))
Iya yang pas disitu damai banget. Favorit saya juga. Sawahnya ajibbb :O
Hapuspersawahannya cakep ya kka
BalasHapus