Dulu sekali.
"Setiap kali tahun ajaran, saya selalu punya kelas
favorit.
Biasanya saya menemukan penghuni kelas yang kurang
seimbang alias bukan penyimak yang baik atau sedikit penyimak di antaranya.
Bagi saya, kelas ini berbeda dari kelas lain. Bahwa semuanya punya interaksi
yang baik dalam belajar-mengajar dengan gurunya. Di balik kebosanan,
kegersangan, kejenuhan di dalam kelas, mereka berhasil meramaikan suasana
dengan cara yang unik:
MENJADI PENIRU.
Murid-murid di kelas ini senang memperhatikan
omongan 'unik' gurunya, menghitung berapa banyak ucapan tertentu yang
dikeluarkan sang guru, meniru gayanya bahkan menggambar gurunya. Baru kali itu
saya temukan semua penghuni kelas berhasil mendetilkan sosok guru mereka, ciri
khas mereka, meniru sampai nyaris serupa.
Semua guru mereka beri julukan, ada guru suku XXX
yang sering mengeluarkan kata-kata tertentu, ada guru dengan belahan rambut
yang mirip tokoh tertentu, yang kurus, yang suka menyuruh menyalin, yang telat,
yang gemuk, yang latah, dan seterusnya yang saya sendiri sering gagal
mendetailkan karakter guru lainnya.
Saya menyebut satu kelas ini cerdas semuanya.
Semua ini berawal, ketika ada sesi tes lisan dimana
para murid maju satu persatu, saya perhatikan mereka tidak membawa ciri khas
mereka, mereka membuat kelas menyenangkan dengan memamerkan ciri khas orang
lain. Dan karakter yang mereka bawakan adalah guru mereka sendiri.
Jadilah saya takjub. Menurut saya keren amat bisa
niru begitu. Serius mirip!
Nah, kalau dengan guru lain mereka tidak akan menjadi peniru. Ini aib bagi
mereka. Bisa habis dimaki-maki oleh guru lain, karena dianggap mengolok-olok.
Sedangkan di kelas saya, mereka santai saja, curhat
saja, jujur dan terbuka.
Kadang saya gemes juga melihat kelakuan anak-anak
ini, terutama kalau adegan menirunya sudah masuk area sensitif dan menyindir.
Di sisi lain, saya belajar mengambil sisi positifnya, bahwa sebenarnya mereka
ini luar biasa, kreatif, cerdas dan pemerhati yang baik. Karena efek dari
meniru ini, mereka pun jadi ingat pelajaran yang diberikan oleh para guru.
Dan semua itu mereka ceritakan pada saya, si Bapak
Guru A tadi siang bilang apa, si Ibu C menjelaskan pelajarannya bagaimana,
bahkan semua kelemahan guru, kekurangan mereka, atau kelucuan yang terjadi di
kelas-kelas sebelumnya atau hari-hari di mana saya tidak ada. Intinya setiap
guru memiliki julukan alias nama lain. Semua guru punya ciri khas.
***
Di dalam menulis, sering ada pertanyaan: gaya menulismu seperti apa?
Saya sendiri kurang yakin ciri khas saya seperti apa. Disebut apakah gaya menulis saya ini. Untuk tahu gaya menulis kita, boleh juga dari penilaian orang lain. Saya sendiri memang suka menulis dengan membangun detail dan rapi. Suka, tapi bukan mahir. Suka, tapi masih belum bisa dibilang gaya menulis saya. Karena setiap kali menulis, saya selalu kepikiran mau gaya menulis seperti apa. Serius atau banyak canda.
Harusnya menulis itu seperti ‘air yang mengalir’ dibuat lancar aja. Katanya, menulislah terus nanti juga kelihatan gaya menulisnya seperti apa.
Sebelum rajin nulis di blog, saya suka buat cerpen dan kirim-kirim tulisan. Sepanjang yang saya kirim dan sudah jadi buku (antologi) semuanya beda-beda gaya bahasanya. Karena saya maunya memang begitu, saya mau coba dan saya mau belajar. Ada yang kalem, ada yang nyastra, ada yang ngocol, ada yang lue-gue sementara aslinya saya nggak lu-gue an dan ngomongnya juga nggak selembut sastra. Katanya, gaya menulis itu menunjukkan siapa diri kita. Tapi, ada juga yang bilang berkebalikan dari itu. Ada yang nulisnya ruamee banget di blog, pas ketemu anteng kemayu diam bijaksana. Mungkin, gaya menulis itu cuma mengeluarkan 1-3% diri kita (prosentase ini karangan bebas semata).
Saya salut dengan mereka yang konsisten dengan gaya menulisnya mau apa dan gimana. Mereka ini dengan yakinnya akan berkata : pokoknya ini saya, saya ya begini. Karena orang-orang bisa nggak nyaman dengan gaya menulis yang berbeda.
Sampai-sampai ada teman yang kurang nyaman menulis ‘wkwkwkwkwkwkw’ karena itu nggak sesuai sama dirinya, kayaknya bukan dia banget gitu. Lebih baik dia menulis ‘hehehe’ saja atau kasih emoticon saja. Ternyata bagi sebagian kita (yang suka nulis) penting banget yang namanya gaya menulis. Disinilah orang-orang akan mengenal si penulis itu. Dan disinilah nantinya akan terbangun ikatan.
Ada sebuah pelajaran dari akun gosip fenomenal di IG. Ketika admin akun gosip ini berubah, gaya menulis di captionnya pun berubah. Dan tahu apa? Mau se-akurat apa pun gosipnya eh foto/videonya, banyak follower yang nggak nyaman dengan gaya menulis yang berubah ini. Rupanya, bonding pun bisa dibangun antara kepsyen dengan follower.
Yang saya khawatirkan adalah kalimat dari mbak Carolina Ratri (yang saya lupa artikel mana, tapi begini katanya) : "Tapi, sering banget saya merasa kehilangan citarasa orisinalitas tulisan para blogger untuk satu dua artikel. Dugaan saya sih, artikel tersebut pasti content placement.” Jiaahh, malu nggak sih. Saya nggak mau bahas CP, karena ini secret buat saya. Tapi, di dalam artikel #BePreneur rata-rata saya tulis serius, sedangkan di #Artwork lebih santai. Saya kira ya begitulah gaya saya. Gaya yang saya suka. Makanya sekali lagi saya salut sama mereka yang punya ciri khas dalam menulis. Orang-orang yang punya ciri khas ini biasanya yakin, apakah dirinya adalah “aku” atau “saya” atau “gue”, apakah “nggak” atau “tidak” yang dipakai.
Terus, kalau gaya menulis saya seperti apa?
Ya, nggak ngerti deh. Soal ini saya masih butuh bahu eh butuh pendapat yang lain. Saya bisa aja nulis di blog yang bahasa yang ‘riang-gembira, nyolot, ngakak, ber’wkwkwkwkw’ selebar mungkin karena ya buat saya menulis itu soal pilihan dan rasa. Tergantung rasa nyaman dan kepuasan. Walau kepuasan kadang-kadang bisa membuat saya tidak konsisten dalam menentukan gaya bahasa.
Ya, sekali lagi gaya menulis itu soal kepuasan bagi saya.
***
Pada akhirnya,
suatu waktu saya pun bertanya pada murid-murid itu:
"Kalau ibu, kalian kasih julukan apa?"
Dan seseorang dari mereka menjawab: "Nah, kita
juga lagi mikir bu."
Karena saya percaya setiap orang punya ciri khas,
jadi saya tidak percaya dengan jawaban ini. Bayangkan saja sekian waktu saya
mengajar, dan hanya itu jawabannya.
Saya pun ngotot: "Kalian yang secerdas ini
masak nggak bisa kasih sebutan untuk ibu, masak semua guru bisa kalian tiru,
tapi ibu nggak bisa."
Sejujurnya tidaklah penting bila saya diberi
julukan, dan malu juga sih kalau dijadikan olok-olokan. Hanya saja, kadang
lebih mudah melihat kekurangan kita berdasarkan orang lain. Dan saya penasaran
seberapa erat hubungan yang kami bangun sebenarnya
(maksudnya anak-anak itu kalau curhat ke saya, tapi
kok nggak tau saya kayak apa)
Tapi, lagi-lagi mereka belum menemukan kata yang
pas untuk melabeli saya.
Jadilah hal ini terkatung-katung berhari-hari
seterusnya. ((terkatung-katung))
Sampai akhirnya mereka gemas sendiri.
"Iya bu, kita belum kasih ibu julukan,
cocoknya apa ya," kata mereka.
"Kok bisa? mana ada di dunia ini orang yang
nggak punya ciri khas, pasti ada yang menonjol," ungkap saya lagi.
"Atau kalian saja yang tidak tega
menyebutnya," tantang saya lagi.
"Bukan bu. Jujur aja bu, ibu itu nggak punya gaya," jawab seorang yang diiyakan
lainnya.
Hah!
Nggak punya gaya?
Oh, nasib.
Sampai sini saya pikir, bagus juga ada guru yang
doyan marah-marah, setidaknya mereka lebih mudah dikenang. Sampai sini saya
juga berpikir, mungkin nggak punya gaya adalah gaya saya.
Salam
Lidha Maul
Aku pun, sudah bertahun-tahun menulis di blog, masih belum menemukan gaya yang pas seperti apa. Dulu, sempat nulis dg super santai. Tapi setelah berlalu beberapa waktu dan dibaca lagi, kok ya aneh kesannya.
BalasHapusberarti semakin lama menulis, semakin tahu mana yang nyaman bagi kita kan mbak. Itulah gaya menulisnya
HapusAku gayanya apa y?mungkin gaya bebas hahahaha..ciyeh mba pemerhati IG akun hosip :D aku siy ga terlalu merhatiin malah taunya krn rame dan ribut itulah gayaku mungkin suka kudet dan telat info :D
BalasHapushahaha, saya ini aslinya kudet kok
Hapuskalau dirimu itu ceria (orangnya)
Sampe sekarang juga belum tau juga mbaak gaya tulisaan saya seperti apa. Kalau nulis di blog mengalir aja 😁😁 hehehe mengikuti suasana hati 😁
BalasHapushahaha, tos dulu kita :)
Hapuswah suka nulis cerpen juga mbak
BalasHapushuuuu, suka. Enak mak, menyalurkan hayalan :P
HapusKalau gaya saya suka-suka mbak........ Mengalir ajah tanpa bisa di setir, kadang yg baca jadi bingung juga
BalasHapusSaya juga kadang ikutan mood mbak :D Hahaha
BalasHapustapi kebanyakan santai kok :D
Hapusmakasih mb, sring banget aku marahin siswa kalau udah mulai suka niru gaya gurunya, namun baca artikel mb saya jadi sadar, bahwa mereka punya kemampuan lain yang sebenarnya ada sisi positifnya untuk mereka
BalasHapussama2 Vini, senang juga ada yang mengambil kisah positifnya disini.
HapusSisi positifnya udah saya tebelin Vin :D
gaya nulisku juga bedabeda kayaknya sih mbak yah tergantung lg nulis soal apa juga :)
BalasHapustapi kalau yang di blog itu serupa lho Nin
HapusApalagi saya mbak, gaya saya itu morat marit, mbuhlah dibilang apa yang penting saya berkarya... kalo mbak ngak punya gaya, boong aja sih... orang mbak suka selphie gitu, mungkin itu gaya mbak heeh
BalasHapusJustru saya yakin setiap orang punya ciri khas, tapi saya gak tahu dimana. Gitu loh.
HapusWaaahhhh, saya gak suka selpiah, hahaha. Bukan saya itu
Klo tembul gimana mb lid? Kedip kedip minta penilaian
BalasHapusNitaaaa apa kabar?
HapusKalau kamu ceria en biasanya nulisnya puanjaanggg, kayak puas banget kalau nulis panjang2
Mb persis kayak wali kelasku pas sma dulu, nyenengin n bikin betah yang diampu, keibuan paztinya #cie cie
BalasHapusEtapi aku klo uda nyastra rada serius loh beda beud ama pas ngeblog, ya ngeblog mah buat suka2 ga pernah aku seriusin soalnya hahaaaaaaa
BalasHapusMaksudnya yang khas banget kita yg mana gitu ya, soalnya aku pikir kalau sastra kan gak mungkin juga nyampah2
HapusMaap nyampah komen lagi, cuma mau nanya kemana itu ilangnya geaer jeruk aaaak
BalasHapusGeaer apaan
HapusLagi butuh refresh aja kok, hehe
Header astagfirulloh typooo
HapusLha itu punya gaya. Namanya ya gak punya gaya. Hahaha...
BalasHapusAnak yang cerdas.
Kira-kira mereka sekarang sudah jadi apa ya?
Apakah sudah punya julukan juga?
Kalau aku pribadi sering juga terjebak sama CP, terjebak tema.
Tapi sedapat mungkin berusaha alami.
Tapi emang benar, kalau menulis sesuai karakter, rasanya, bebas, lepas, dan jadi melebar kemana-mana. Duh, serba salah ya. Tak sesuai petuah ibu guru Bahasa Indonesia.
Ah, mengalir sajalah...
Lebih baik begitu.
Iya mbak saya suka nulis gaya yang begini, tapi bukan berarti gak bisa gaya lain. Nanti saya coba ya beda gaya.
HapusNah, kadang2 aku CP ini bagus kok, dan cukup 'aku banget' kok di blog, hihihi (eh, padahal tadi bilang secret)
AKu gayanya kalau nulis agar kaku ya mba. Yang baca kayaknya tegang. Hihhihii
BalasHapusSama mba karena saya baru belajar menulis n ngeblog jadi masih bingunh menentukan gaya bahasa yang cocok. Masih coba2. Smga dg tingginya jam terbang nti. Mmbuat tulisan saya semkin jauh lbh baik lgi
BalasHapusAku pun jd bertanya2 mba, gaya nulis blog aku sebenernya kayak apa ya? Hehehe.. Triims udah nulis ini ya mba, mau gaya apa pun yg penting apa yg kita sampaikan bisa sampai ke yg baca ya.. :D
BalasHapusIya euy, ada beberapa blogger yamng aku irrin gaya menulisnya. Yang terlihat santai tapi tetep enak dibaca.. Kalo aku sendiri sih masih terkesan berantakan. Mau ngerubah juga susaaah. Heheheee. Kaya gaya menulis mak Lida nih, udah rapi dan enak banget untuk dibaca.. Kece lah pokoknya <3
BalasHapuskalo aku kayaknya kebanyakan gaya...hahhahaha...
BalasHapustapi asal jangan gaya batu ya mba.. diam ditempt..
Yang jelas, tulisan dikau itu suegerrrr mbaa, ciyuusss:)
BalasHapusmain2 ke bukanbocahbiasa(dot)com yukks :)
Hihihi personal branding ya lebih tepatnya.
BalasHapusAda tuh guru saya di SMK yang turun temurun gayanya memang seperti itu, keras suka ngasih nilai jelek.. tapi di balik semua itu ya biar anak anak didiknya mau belajar. Dan beliau pun terkenal di setiap angkatan
Hmm.
Aku sih kalau komen gini "PAKAI AKU" tapi kalau lagi nulis di blog nggak ngerti kenapa udah kebiasaan "PAKAI SAYA" hihih
Terus kalau nulis, kebiasaan tibatiba curcol
Tapi kayakna kalau personal branding. Gayaku juga masih gak tentu sih Samaa ajaa :D
Artikel yang menarik mak. Kebetulan memelihara 4 blog 4 tema. Dan setelah diperhatikan ternyata gaya penulisan di masing2 beda-beda. Ada yg santai kocak, serius, deep (ciuh), filosofis...ternyata mood sebuah segmen itu juga menentukan. Jadi ingat bgmn seorg penulis terkenal mampu berganti persona dln setiap sudut pandang karakter.
BalasHapusgaya menulis ku yang pengen diubah juga nih.., rasanya kok terlalu baku ya..
BalasHapustakut pembaca bosan, tapi belum nemu mau nulis seperti apa
hmm aku gayanya apa yaa..?
BalasHapuslhooo jadi mikirin diri sendiri juga hahaha.
tp aku dah pernah nanya2 ke trio krucilsku ttg aku di mata mereka.
blom pernah nanya ke orang lain, ga berani hahahahah takut baper!
aku skrang udah jrng bgt nulis di blog ... gimana mau mengubah gaya :)
BalasHapussaya sudah lama gak nerima CP mbak, soalnya kadang gak sesuai dengan gaya blog, gaya ku apa ya, kadang serius kadang emboh deh, dibuat enjoy aja hehe
BalasHapusOrang suka mengira saya serius. Tapi kan serius masak mau serius terus. Ada saatnya dong kita bersantai, lalu ngakak (seperti di grup kitalah). jadi, pas saya nulisnya rada aneh di mata mereka maka dipertanyakanlah pdahal ya gaya saya begitu. Serius kalo perlu, ngikik kalo perlu. Yang penting kan suara ngikik saya gak kedengaran. Iya kan Mbak Lidha?
BalasHapus