Minimnya Partisipasi Publik Menyuarakan Masyarakat Adat Balik
Menarik ketika melirik lewat mesin penelusur tentang Suku Balik sebelum tahun 2018, di mana tidak banyak informasi yang dapat ditemukan kecuali dalam penceritaan yang sama, berulang dan terduplikasi. Nama suku ini naik seiring pemberitaan pemindahan ibu kota negara yang baru. Saat ini nama Suku Balik lebih dikenal dibanding beberapa tahun lalu. Sebuah siklus yang baik untuk mengenal suku asli Kalimantan yang nyaris terlupakan ini. Sekaligus menjadi pertanyaan besar mengapa identitas Suku Balik mengabur dalam waktu yang lama. Padahal komunitas ini hidup menggenerasi masih dalam pulau yang sama tidak jauh dari kota yang bernama sama. Menelusuri monograf juga sama, sukar hingga tidak ditemukan pengetahuan yang cukup kompleks tentang suku ini. Jikalau rekam jejaknya muncul seringkali sebagai sub suku dari sebuah suku dengan kerajaan yang bukan menjadi tempat mengabdi bagi Suku Balik.
Terdapat persepsi bahwa kepedulian masyarakat Kota Balikpapan secara luas masih minim akan asal-usul sejarahnya, sehingga kurang menelurkan teks-teks penggalian tentang Suku Balik. Minimnya kepedulian ini disinyalir karena identitas masyarakat kota heterogen ini cenderung hibrida atau notabene pendatang. Asumsi bahwa ketiadaan sumber resmi yang pasti tentang Suku Balik meski hanya sejumput menjadi pertanda sukarnya penggalian informasi lebih lanjut. Faktor kondisi tempuh antara Balikpapan dengan komunitas adat Balik, khususnya Sepaku pada masa lampau juga dapat menjadi jawaban. Ruang hidupnya perlahan makin mengecil, tertutupi dengan kehadiran masyarakat trans dan perusahaan kayu.
Hutan Sepaku, dan orang-orang yang memilih tinggal di dalamnya. |
Bagi orang-orang Balik sendiri, ada yang memilih memencar, bergabung dengan entitas lain. Narasi sejarah mereka lebih sering tersampaikan lewat lisan turun-temurun, dan belum sampai derajat naskah cetak yang resmi terdata.
Isnah dari Perempuan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang sedang menelusuri jejak lampau Suku Balik menyebutkan bahwa terancam punahnya masyarakat adat bisa dilihat dari penyebaran sukunya, dan juga dari bahasanya. Lacak jejak yang pernah ia lakukan bersama AMAN, menunjukkan adanya titik-titik (lokasi) keberadaan Suku Balik, di mana di titik itu hanya ada satu atau dua, atau tiga orang.
''Karenanya, bisa dikatakan Suku Balik itu terancam punah, tapi belum punah. Karena komunitas itu masih ada," jelas Isnah. Menurutnya upaya penyelamatan masih bisa dilakukan.
Mengenai bahasa Balik yang sering disamakan dengan bahasa Paser, Isnah juga menyatakan ketidaksepakatannya. Berdasarkan apa yang ia pelajari, bahasa Paser dan bahasa Balik berbeda. Dia memprediksikan, jika pun ada kesamaan, hanya sekadar 30% saja. Pendapat Pak Setta seakan membenarkan hal ini. Beliau berujar, bahwa orang-orang Balik yang bisa berbahasa Paser itu hanyalah bahasa Paser permukaan, bukan bahasa Paser yang terdalam (lapisan akar). Ini artinya Balik memang bukan Paser, dan Paser bukanlah Balik.
''Bahasa Balik ini terancam punah, karena penuturnya juga makin berkurang," jelas Isnah lagi.
Upaya pembukuan (kamus) bahasa Balik rupanya belum pernah dilakukan sebelumnya. Mengonfirmasi tentang ini, Aminuddin Rifai dari Kantor Bahasa Kaltim menjawab bahwa belum ada penyusunan kamus bahasa Balik, yang ada hanya bahasa Paser.
Ketika disebutkan bahwa orang Balikpapan tidak tahu banyak tentang Suku Balik, Isnah menanggapi wajar. Meski Isnah menyebut, di Balikpapan sendiri masih ada orang-orang Suku Balik tinggal. Namun, menurut hasil penelitiannya, orang-orang Balik memang lebih memilih mengisolasi diri dari keramaian, mundur dan mengalah. Isnah menggunakan diksi pemalu, sebagai ciri khas orang-orang Balik. Sementara meminjam kata 'hidup arif' untuk disematkan pada suku ini mungkin juga pas.
Suara dari Perempuan Balik
Minimnya keterlibatan publik menyuarakan Suku Balik telah dilihat dari beberapa aspek. Namun, partisipasi masyarakat adat Balik sendiri dalam menyuarakan aspirasinya tidaklah totalitas pasif. Yati Dahlia, perempuan muda Suku Balik Sepaku ini tak kurang semangat menjaga eksistensi sukunya. Dahlia kini juga mengajar tari ronggeng Paser-Balik. Menurutnya, perbedaan tarian ronggeng Paser dan ronggeng Balik terletak pada musiknya. Baru-baru ini Dahlia hadir untuk mengisi HUT PPU ke-21 Tahun 2023, di Penajam.
Dahlia, perempuan Suku Balik |
Sebagai guru penari ronggeng, Dahlia, juga sangat terbuka pada lapisan media yang datang berkunjung yang ingin mengulik tentang Suku Balik. Dia paham tidak banyak orang yang tahu tentang sukunya, sehingga berbagi pengetahuan dirasa penting dilakukan. Usaha mandiri yang ia kelola bernama “Ngelok Balik” adalah bagian dari upaya kecil dalam melestarikan identitas sukunya.
“Memang pesan dari Bapak, kalau Bapak cerita dicatat, biar kita tetap ada,” ungkapnya, ketika Ayahanda bertutur tentang kisah-kisah nenek moyang mereka di masa silam.
Dahlia mengakui, merasa kurang dalam hal pencatatan, karena dengan hanya mengandalkan memori, terasa banyak lubang-lubang pada plot riwayat. Kecakapan Dahlia dalam bertutur dan menyampaikan aspirasi juga patut diacungi jempol. Sayang, di luar sana ada yang membubuhkan narasi sentilan tentang mengapa tokoh ini lagi-ini lagi yang berbicara di ruang publik. Padahal, jika jeli, terdapat kata minoritas dalam setiap penceritaan mengenai Suku Balik. Sehingga, sosok yang terlihat bisa saja sama. Pun berbicara di depan publik tidaklah mudah, dibutuhkan kekuatan diri, khususnya bagi mereka yang tidak terbiasa.
Dia dan masyarakat adat lain, bukan hanya Suku Balik, khawatir jika tidak ikut berpartisipasi, bersuara atau berperan, akan tenggelam di tengah pembangunan besar-besaran dan dengan ribuan manusia yang diperkirakan akan datang.
“Kami pengennya tetap di sini. Mungkin bisa dibangunkan desa adat. Nanti kalau ada Presiden atau pejabat, kami masih bisa menyuguhkan tarian, terus orang-orang luar juga bisa lihat budaya kami. Jadi kami ini nggak mati.”
Merawat Muruah Masyarakat Adat yang Diambang Punah
Diperkirakan ada 200 Kepala Keluarga (KK) dari Suku Balik yang hidup di Kec. Sepaku. Selain Suku Balik, masih ada Suku Paser, Dayak, sebagai suku asli Kalimantan yang berkehidupan di sana. Masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang hidup di suatu wilayah tertentu dan memiliki ikatan kebudayaan yang kuat dengan wilayah tersebut. Mereka memiliki identitas, nilai, norma, dan budaya yang menjadi bagian integral dari keberadaan mereka. Masyarakat adat sering kali memandang adat istiadat dan kepercayaan sebagai landasan utama dalam kehidupan mereka.
Masyarakat adat memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan alam sekitar dan sering kali mempertahankan tradisi dan pengetahuan lokal dalam menjaga keberlanjutan alam.
Masyarakat adat Balik di Sepaku telah hidup di wilayah turun menurun. Sayangnya, hingga kini belum ada pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka, juga tentang tanah-wilayah di mana mereka berdaulat tinggal. termasuk soal lahan dari negara. Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara disebutkan telah berupaya memberikan payung hukum dalam melestarikan adat istiadat berupa Perda Nomor 2 Tahun 2017. Namun, dalam peraturan daerah tersebut yang tertera adalah adat Paser, dan belum memuat nama Suku Balik.
DR. Thomas Umbu Pati Tena Bolodadi, Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN, dalam Seminar Nasional “Peningkatan Literasi Masyarakat” di Gran Senyiur Balikpapan, 15 Desember 2022, menyebutkan pentingnya mendorong literasi budaya baik dalam teks lokal dan digital. Pihak otorita berkomitmen untuk mendukung adat budaya yang ada di ibu kota baru nantinya. Ini berarti masyarakat adat dengan wilayahnya yang ada di sana juga tetap dijaga.
=TAMAT=
Sebelumnya :
___________
Tulisan ini merupakan program fellowship Environmental Citizen Journalism Program (ECJP) 2023 yang diselenggarakan Forest Watch Indonesia (FWI) dengan Mongabay.