MASYARAKAT ADAT SUKU BALIK
“Kami masyarakat asli di sini. Kami ingin tetap di sini bagaimana pun juga.”
Lelaki tua berjanggut yang menjadi Pemangku Adat Suku Balik menuturkan dengan suara nyaris tenggelam. Hujan deras di luar disertai gemuruh sedang memukul atap rumah, hanya mampu menyisakan sedikit ruang dengar untuk kenyamanan berbincang. Air sudah menggenangi pekarangan di depan rumah, dan mendadak lampu padam.
Pak Medan, begitu beliau disapa, masih hangat menerima tamu (bulirjeruk.com) meski cuaca dingin saat itu mulai merambah ke kulit, meski jalannya sedikit gemetar karena mudah letih. Tutur katanya ramah dan arif terdengar. Mungkin karena pola kehidupan yang sekian lama berbaur dengan alam, hidup sederhana secara tradisional. Dahulu, nenek moyangnya merupakan Suku Balik yang menjadi legenda asal-usul Balikpapan. Kota yang memakai nama sukunya kini menjadi kota modern, sementara leluhurnya hingga generasinya memilih hidup berdamai dengan alam di kawasan Sepaku. Hidup yang selaras alam tanpa gedung-gedung megah, komunitas Suku Balik telah menorehkan Sepaku sebagai tanah mereka yang bersejarah. Seiring waktu para pendatang memasuki wilayah mereka, sehingga mereka berbagi ruang dan tanah. Meski menjadi minoritas di tanah sendiri, Suku Balik dan suku-suku lain di kawasan Sepaku menjalin kehidupan harmonis dalam rentang waktu panjang dan lama.
Tahun 2019, menjadi tonggak bersejarah bagi negeri ini, ketika Presiden Jokowi meminta izin untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan, tepatnya Kalimantan Timur, dengan kawasan terbesar berada di Kec. Sepaku (Penajam Paser Utara) dan sebagian wilayah di Kabupaten Kutai Kartanegara. Wilayah keseluruhan yang akan menjadi IKN Nusantara bukanlah hutan belaka, ada pola kehidupan manusia yang sudah sekian lama terbentuk, lalu lintas masyarakat, budaya dan masyarakat adat dengan setidaknya 21 komunitas masyarakat adat dalam lingkup IKN Nusantara. Mungkinkah komunitas suku yang menjadi minoritas ini perlahan kandas seiring mega proyek yang bergegas?
SUKU BALIK, SUKU ASLI BALIKPAPAN YANG TERLUPAKAN PUBLIK
Suku Atau Sub Suku ?
Bentangan kisah Suku Balik dimulai dari masa Kerajaan Kutai Kartanegara. Ketika itu kekuasaan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Raja Makota. Beliau baru saja berIslam. Untuk memuliakan agamanya, Raja Makota melebarkan kekuasaan dari wilayah kekuasaan yang sudah ada. Rencana itu terwujud, daerah pantai seperti Manubar, Kaniungan, Sangkulirang, sampai Balikpapan, berhasil ditaklukan. Kala itu Balikpapan belum disebut Balikpapan. Balikpapan hanyalah hutan tropis milik Kerajaan Kutai Kartanegara dengan pos keamanan di ujung teluk yang disebut Tanjung Gonggot, atau yang kini terkenal dengan kawasan Semayang (Pelabuhan Balikpapan). Meski menjadi tanah Kutai, namun tidak ditemukan cerita yang menunjukkan ada kehidupan masyarakat Kutai di Balikpapan saat itu. Justru cerita yang paling banyak berasal dari masyarakat Paser.
Menurut Isnah, Perempuan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang juga merumuskan perjalanan Suku Balik, menyebutkan bahwa orang Balik pernah mendiami sekitar Semayang termasuk mendiami pulau kecil yang ada di sana. Selain nama pelabuhan di Balikpapan, nama Semayang adalah desa dan nama danau yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hanya ingin membuktikan, bahwa memang Balikpapan dahulunya adalah wilayah milik Kerajaan Kutai Kartanegara. Begitu pun orang Balik berkhidmat pada Kerajaan Kutai Kartanegara, dan bukan Kerajaan Paser yang ada di seberang mata.
“Kami ini mengabdi pada Kerajaan Kutai, bukan Paser.” Demikian ucap Pak Medan, Pemangku Adat Suku Balik menyebutkan. Maklum saja, Suku Balik sering disamakan dan dipadankan dengan suku Paser. Bahkan, dalam situs Pemerintah Kota Balikpapan menuliskan ‘Asal-usul Balikpapan’ yang berasal dari kisah Suku Pasir Balik, (dahulu resmi tertulis Pasir, sekarang Paser). Padahal, masyarakat adat Balik tidak sepakat penyamaan suku mereka dengan suku Paser atau suku lain.
“Suku Paser dan Suku Balik itu beda, mbak. Bahasanya saja beda,” sahut Pak Pandi, tokoh masyarakat adat Suku Balik meyakinkan ulang. Selain bahasa, gelar tetua adat Paser dan Balik ini berbeda. Jika Suku Paser menyebut Tuo Kampuong, Suku Balik menyebutnya Ten Sopek.
Berkali-kali ditemukan, penulisan Suku Balik ditulis sebagai Suku Paser Balik bahkan dalam literatur yang terpublikasi resmi. Tentang ini, pasti ada alasan yang mendasarinya. Mengingat Balikpapan memang berdekatan dengan wilayah Kerajaan Paser yang hanya sepandang mata, dibanding Kerajaan Kutai nun jauh di sana.
bersama masyarakat adat suku Balik Sepaku |
Sementara menurut Dahlia, perempuan Suku Balik, istilah ini mungkin terjadi akibat pernikahan antara Suku Paser dan Suku Balik, sehingga turunannya disebut bersuku Paser Balik. Atau memang ada dua pihak (dua suku) dalam satu penceritaan.
Walau masyarakat adat Balik mengatakan bahwa Suku Balik adalah suku tersendiri, dan bukan lahir dari Suku Paser. Pada dasarnya mereka tidak terlalu ingin memrotes dan menerima baik-baik saja sebutan itu.
Tidak
hanya masyarakat adat suku Balik, bulirjeruk.com juga menjumpai M. Setta Achmad
yang berada di Kel. Pantai Lango, Kec. Penajam, Kab. PPU. Lelaki yang pernah
menjadi Kepala Adat Suku Paser ini berulang kali menyebut ‘orang Balik’ bukan ‘orang
Paser Balik’.
“Ndak sama lah itu. Balik itu mengabdi ke Kutai,” katanya menguatkan pendapat masyarakat adat Balik bahwa Suku Balik bukanlah Suku Paser dan bukan pula sub suku dari Paser.
Pak Setta juga memberikan sedikit sanggahan tentang penulisan kata ‘Pasir’.
“Harus Paser. Kalau pasir itu tanahnya,” ucapnya disertai gurau.
Penguasaan Sepaku dari Waktu ke Waktu
Kemudian situasi berubah, ada kondisi yang membuat masyarakat Balik memilih pergi dari tepi teluk, mengungsi masuk melalui sungai-sungai Sepaku: Mentawir, Pemaluan, dan Sepaku. Perkampungan tiga sungai ini menjadi tempat bersejarah bagi masyarakat Suku Balik.Tiga wilayah ini sekarang masuk dalam Kec. Sepaku, kawasan IKN Nusantara.
Di era Kerajaan Kutai Kartanegara, Balikpapan yang di dalamnya ada Sepaku masuk dalam wilayah Kutai. Jadi, kalau pun kala itu masyarakat Balik sudah mengisi kawasan Sepaku, tetap saja mereka masih berada di kekuasaan Kutai, menjadi abdi dari Raja Kutai. Kemudian, pada tahun 1953, Kutai menjadi Daerah Istimewa Kutai, hingga tahun 1960, Pemerintah Republik Indonesia menghapus status Daerah Istimewa ini lewat UU nomor 27 tahun 1959. Setelah tahun ini, Kutai menjadi Kabupaten Kutai dengan ibu kota Tenggarong. Sedangkan Balikpapan berlepas menjadi kota administratif sendiri. Sejak itu pula Sepaku tidak lagi menjadi bagian dari Kutai, tetapi masih menjadi bagian dari Balikpapan bersamaan dengan Penajam, yang bernama Kec. Balikpapan Seberang.
Pada tahun 1988, Balikpapan menyerahkan Sepaku beserta Penajam ke Kabupaten Paser. Namun, Kabupaten Paser ini memang sangat luas. Sehingga terjadilah pemekaran pada tahun 2002. Sepaku berpindah penguasaan lagi ke Kabupaten Penajam Paser Utara. Dan sekarang, Sepaku masuk menjadi bagian wilayah IKN Nusantara.
Lika-liku penguasaan wilayah Sepaku bak perbukitan bergelombang yang terhampar di atasnya.
kehadiran perusahaan kayu dan sawit |
Pada era 70-an, para transmigran didatangkan lewat program Pemerintah. Jumlahnya sekitar lima ratus. Tahun 90-an para transmigran berdatangan kembali, sehingga jumlahnya terus bertambah. Tidak mengherankan jika para transmigran memiliki ‘Hari Transmigrasi Sepaku’ yang terhitung sejak tahun 1975. Para transmigran sebagai masyarakat lokal yang mendominasi beserta masyarakat asli Kalimantan membentuk masyarakat inklusif yang hidup berdampingan dalam alam Samboja yang lestari.
Sepaku kini, menuju IKN Nusantara |
zonasi IKN, berdasarkan webinar bersama Myrna Safitri, Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN |
Memaparkan sejarah ini, memperlihatkan betapa komunitas masyarakat suku Balik yang sejak awal tidaklah besar, yang hanya membangun perkampungan-perkampungan kecil di bentaran sungai, kian tersisih di tanah asli. Ditambah adanya migrasi suku Balik sendiri ke daerah lain, pernikahan, kurangnya pengakuan diri, serta melepas tradisi, terus menggariskan masyarakat adat Balik sebagai masyarakat minoritas yang rawan kehilangan identitas.
Asal-Usul Suku Balik dan Ancaman Kepunahan
Masih dibutuhkan upaya untuk benar-benar bisa menjawab asal-usul nama Balik. Berbeda dengan Suku Kutai dan Suku Paser yang memiliki kerajaan, silsilah yang terdata, manuskrip, dan artefak yang terpelihara yang dapat dipelajari hingga kini, Suku Balik adalah etnis kecil pengabdi Raja Kutai dengan tetua adat perempuan yang bergelar Ten Sopek.
Tentang mengapa bernama Balik, oleh Pemangku Adat Suku Balik yang saya jumpai menyebutkan legenda Kota Balikpapan dengan cerita papan-terbalik. Kisah lain yang dituturkan pada saya, bahwa dahulu pernah terjadi perang ‘ilmu’ antara Kerajaan Kutai dan Paser. Jika Kerajaan Kutai mendapat serangan dari Kerajaan Paser, maka Raja akan memanggil orang Balik untuk membalikkannya. Keunikan dari Suku Balik lain adalah beberapa kosakatanya terbalik dari bahasa Paser. Misal, dalam bahasa Balik, ada kata ongob, dalam bahasa Paser disebut bongo (bodoh), bahasa Balik menyebut ewab, dalam bahasa Paser menyebut bawe (wanita).
Adapun Naskah Salasilah Kutai beraksara Arab - Melayu, karya Khatib Muhammad Thahir, pada tahun 1849, menuliskan با ليق فافن atau baa-liiq faa-fan, (Jawi dengan teks bergaya lama). Baliq yang bersambung dengan kata papan, mengacu pada wilayah Balikpapan. Menurut M. Sarip, Sejawaran muda asal Samarinda ketika dihubungi, menyampaikan redaksi tersebut bisa menjadi interpretasi bahwa nama Baliq juga merujuk pada nama entitas yang ada di Balikpapan. M. Sarip saat ini memegang duplikat Salasilah Kutai tersebut yang naskah aslinya tersimpan di Perpustakaan Berlin, Jerman. Terlepas dari penuturan mana pun, etnis ini memang ada walau dengan jumlahnya yang minim.
Sayangnya, sudah sedikit, makin dilupakan pula.
Kota Balikpapan yang mengambil nama Suku Balik tidak banyak menuturkan masyarakat adat ini ke publik, kecuali dalam cerita rakyat. Pandangan warga pun berbeda-beda. Ada yang menganggap Suku Balik hanyalah legenda, ada yang mengira sudah punah, ada yang tidak pernah mendengar sama sekali tentang Suku Balik, dan saya adalah bagian dari warga Balikpapan itu.
Balikpapan menuju Sepaku jalur perairan |
Kabarnya, dahulu masyarakat adat Suku Balik masih diundang dalam acara penting kota. Bagaimana dengan Kerajaan Kutai yang menjadi tempat mengabdi Suku Balik? Bukankah semestinya penceritaan terbesar datang dari kerajaan ini ? Menjawab ini ternyata dibutuhkan lebih banyak penelusuran. Justru cerita tentang Suku Balik lebih banyak berasal dari Suku Paser.
perbatasan Kukar menuju PPU |
Nama Suku Balik di Sepaku, akhir-akhir ini mencuat berbarengan setelah pemindahan IKN. Disebut sebagai etnis yang punah, dan hanya legenda, sepertinya Suku Balik bisa bersuara juga ke publik.
*
Bersambung : Masyarakat Adat Balik - Bagian 2